karena7adalahmysteri

There's so many things counted in seven. The Skys, The Seas, The Days, and so do I. Seven is the biggest mysteri I've ever found

Thursday, January 11, 2007

How close are we?(with Homosex)

Have U ever thinking, that sometime maybe we are so close to the kondition called homo sexual (or maybe it's exactly more common called habbit?). Yup, I think semua orang sebenernya punya kecenderungan untuk berperilaku sebagai homoseks, apakah itu lesbian atau gay.
Mungkin kamu bakal langsung protes dengan ide ini. It's Okay. I mean, it's doesn't realy matter to me. Karna itu suatu yang wajar-wajar saja, sepanjang anda itu memang orang yang wajar dan waras. (Sory buat kamu yang merasa sebagai bagian kaum homoseks. Aku bukan sedang menjudge kamu sebagai tidak waras atau tidak wajar. Tapi bagi orang 'normal', anda itu memang bisa dibilang nggak wajar dan nggak waras, atau irasional.)
Anyway, back to the topic. Meski banyak orang bilang kalau homoskes itu sebagai penyimpangan atau ketidaknormalan, tapi sebenernya kita semua punya bakat dan kecenderungan ke arah itu. "Jadi Homoseks?" Yes it is. Ih...ngeri bgt. Gini, sadar nggak sadar, sebenernya kita kadang menilai orang yang sebenernya punya jenis kelamin sama kayak kita. Misalnya pas liat Brad Pit maen di pilem Mr & Mrs Smith. "Busyet...tuh Brad Pit keren banget. Coba ku bisa kayak dia, pasti banyak cewek yang nempel. Barangkali Angelina Jollie juga bakalan nempel ke aku? Eh, ada lho yang ngomong begituan, meski cuma di dalem hati. Ato pas lagi ngliat Tora Sudiro di film Arisan. Ehm..Tatonya bow! Cool bgt!! (Huek...Muntah aja
kalo pengin. Aku udah duluan kok)
Dan asal kamu tau, yang membatin beginian bukan cuma cowoknya, cewek juga banyak yang berandai-andai jadi Pamela Anderson misalnya, dengan Toket segede Semangka ato JeLo dengan Bokong (maaf, jorok dan vulgar banget ya. Ya udah, tak ganti Pantat aja deh) yang super gede. Kagum? So pasti.
Pembatinan-pembatinan begituan, sadar ato nggak ternyata merupakan sebuah reflek kesadaran dan kekaguman yang muncul dari alam bawah sadar manusia akan ketertarikan pada jenisnya sendiri. Mungkin kamu akan berkelit, "Ah, kita kan cuma mengandaikan
begituan, biar lawan jenis lebih tertarik,". Tapi menurutku, itu adalah sinyal tak sadar
yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam.
Homoseksual sendiri kan sebenarnya memang udah ada sejak dulu banget. Sejak jamannya nabi Lut malah. Kaum Tsamud dalam Al-Qur'an dan beberapa kitab suci agama-agama menyebutkan bahwa kaum itu dijungkir balikkan dari bumi karena melakukan praktek homoskes tersebut. Bukan hukumannya yang aku soroti, tapi bahwa kebiasaan dan kecenderungan itu memang selalu muncul di setiap perjalanan sejarah manusia.
Trus pas lagi sendirian, aku juga kadang mikir, apa aku punya kecenderungan homo ya? Oh tidak. Aku kan seneng cewek, dan selalu membayangkan bisa melakukan hal-hal seperti yang dilakukan lelaki pada umumnya. You know lah....Hanya saja, sampe saat ini aku emang lebih banyak jalan sama cowok. Oni, Fuad, Heni (Dwi Cahyo nama lengkapnya), Toni, Kuat dan sebagainya, sekilas memang menegaskan anggapan dan ketakutan itu.
Kalo kemudian sampe umurku yang mau 28 ini aku belum punya cewek, aku absolutly yakin ini bukan karena aku hombreng. Sumpah deh, aku sama sekali nggak kebayang pacaran sama cowok. (Huekk...huekkk...huekkk. Muntah sampe semua makaanan di perut abis. Saking jijiknya membayangkan kita lagi main anggar)
Walah. KOk malh ngomong nggak karuan si. Sebenernya tadinya cuma mo ngomong begini, tadi siang tu aku ketemua sama seorang pria. Ceile...pria koh. Sebenernya lebih tepat dikatakan bin disebut Kakek Tua Bangka (nggak pake keparat si-tadinya) di bengkel. Pas lagi nunggu motor selese diservis, eh ada si kakek itu. Dia terlihat kegum banget sama aku (Sumpeh, ini bukan karena narcisku kumat, taip itu yang dia bilang sendiri). Trus, nggak tau awalnya gimana, dia lngsung mengakrabi aku dengan ngobrol ngalor ngidul.
Semuanya berjalan biasa aja (kayak lagunya trio libels. Mulanya biasa saja...Diantara Kita.. Berdua. Tak pernah ada rasa, cintaaa. Walah...kok malah nyanyi si). Tapi lama-lam ni kakek mulai agak kurang sopan. Pake merab-raba tangan.
"Wah, tangannya kok alus banget sich. Nggak pernah kerja keras ya?" katanya agk-agak genit. "Ya elah si Kakek. Kan udah aku bilang tadi, aku kerjanya make komputer. Mana bisa ni tangan kapalan. Emangnya nyangkul?" batinku. Tapi aku cuma berusaha menarik tanganku. Abis gitu, eh dia semakin kurang ajar. Dia pake meraba pahaku.
"Busyet ni kakek, kok jadi kurang ajar gini si," batinku lagi. "Wah, kamu seneng olah raga ya. Kakinya kenceng,' ujarnya lagi. "Ya mpyun nih kakek. Plis dech. Kalo mo ngrayu jangan yang aneh-aneh. Mendingan rayu aku untuk dikasih warisannya ato dikawinin ama cucunya yang cantik dan bahenol sambil ngeleg cendol. Udah jelas-jelas aku nggak pernah olah raga, pake sok tau lagi," gerutuku.
"Eh, maaf Kek, kayaknya motor saya udah selesai. Permisi sebentar ya" pamitku sopan. Aku langsung cabut ke kasir dan mbayar biay servis. Abis itu, sebagai unggah-ungguh, aku pamit baik-baik (lagi? ketagihan kali ya). Tau nggak, dia keliatan kecewa banget aku tinggalin. Tapi sebodo amat lah. Dari pada dihombrengin kakek TBK (Tua Bangka Keparat!-Akhirnya aku tega menggunakn istilah ini) mendingan...KABUUUR......

Thursday, January 04, 2007

Nomor Mysterius

Bagian Kedua
Hari ini sudah tanggal 3 Januari 2007. Dan Aku belum bisa memutuskan untuk mengambil sebuah tindakan dengan mimpi aneh yang aku alami selain menceritakannya pada beberapa orang. Wahyu- pacarnya mas Asidi, Mba’Upik dan Mega serta Heni dan Ennie. Semuanya hanya mengira hal itu sebagai bunga tidur karena aku terlalu senang melihat film kartun dan fiksi. Meski begitu, Ennie punya ide agak gila dengan menyuruhku segera menelpon nomor itu. Dia menerka bahwa itu mungkin saja adalah nomor yang akan membawaku pada seorang wanita atau mungkin putri yang akan menjadi jodohku. Ato mbak Upik yang menganggap itu adalah nomor buntut yang super bener dan bisa bikin aku kaya raya. But I don’t think so. Aku tidak berpikir demikian.
Kalau ceritanya seperti itu, itu akan terlalu mudah ditebak endingnya. Aku yakin ini sesuatu yang lebih rumit. Ini bukan cerita ala pangeran kodok atau putri salju yang mendaptkan putri atau pangeran impiannya dengan jalan yang ajaib seperti itu. Aku yakin ini adalah misteri-misteri tak terjawab yang kadang memang muncul dalam kehidupanku.
Aku ingat. Suatu saat ada seorang laki-laki yang berkunjung ke rumah kakak pertamaku, rumah dimana dulu aku tinggal. Dia adalah guru spiritual kakak laki-lakiku dan kakak sepupuku di tangerang. Keanehan terjadi saat kami bertemu. Laki-laki iu menatapku beberapa saat lamanya saat aku masuk ke kamarku. Tapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Meski aku tersenyum, dia seperti tak melihatnya. Karena merasa tak respek dengan dia, akhirnya aku memilih mengurung diri di kamar sambil mendengarkan radio.
Dikemudian hari aku tahu nama laki-laki itu adalah Pak Yanto. Itu baru kuketahui saat kakakku memanggilku. Katanya ada hal penting yang mau dibicarakannya.
“Bi, kamu tahu laki-laki yang kemarin di sini,” kata kakakku memulai pembicaraan.
“Tidak. Dan aku rasa aku tak ingin melakukannya,” jawabku acuh.
“Melakukan apa? Tanya kakakku agak penasaran.
“Mengetahuinya. Itu tak ada untungnya bagiku,” kataku.
“Dia Pak Yanto. Dia guruku dan Mas Anto. Kami menyebutnya guru spiritual. Kami sering ke rumahnya untuk mengaji,” bebernya tanpa kuminta.
“So. Apa kaitannya denganku,” ujarku tak sabaran.
“Dia berpesan agar kau menjaga segala ucapan yang keluar dari mulutmu,” katak kakakku. Begitu mendengar kalimat terakhir ini, aku langsung mengangkat kepalaku dan menoleh ke arah kakakku. Aku memang tak mengacuhkannya saat berbicara.
“Apa haknya mengatur apa yang akan kukatakan. Dia sama sekali tak berhak,” jawabku agak kesal. Agaknya jawabanku sudah diperkirakan oleh kakakku. Terlihat dari sikapnya yang tetap tenang melihat sikapku yang mulai marah.
“Dia tidak mengaturmu. Dia hanya mengingatkanmu. Itu juga kalau kamu mau. Kalau tidak mau…
“Kalau tidak mau kenapa? Apa dia akan mengguna-gunaiku dengan mantra tenung?” potongku ketus.
“Aku tidak takut. Memangnya siapa dia. Aku sama sekali tak punya sangkut paut dengan dia. Kalaupun ada, ini hanya karena aku adikmu. Lain tidak. Jadi jangan coba mengatur-ngaturku,” semburku lagi.
“Kamu terlalu curiga. Aku belum lagi menyelesaikan ucapanku, dan kau sudah memotongnya. Aku hanya akan berkata, kamu bebas menentukan sikap dan tindakanmu. Pada saatnya nanti, kamu bertanggung jawab penuh dengan semua tindakan yangkau perbuat. Orang lain tidak bisa mencampurinya. Itu saja,” terang kakakku. Nafasnya kelihatan memburu menahan marah. Tapi dia hanya menghirup nafas panjang. Meredakan api yang ada di dalam dadanya.
Tanpa berkata apapun aku pergi meninggalkannya. Sejak itu, aku agak kurang suka kepadanya. Dan dengan sendirinya ini membuat hubungan kami jadi agak renggang.
Bulan berlalu dan tahun berganti. Aku akhirnya melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Nothing special with my life so far. Sampe pada suatu ketika (aku agak lupa kapan tepatnya, mungkin sekitar ahun 2000 atau 2001) aku ikut menjadi panitia kegiatan PSP (aku agak lupa kepanjangannya apa, mungkin Penghayatan Sejarah Perjuangan?). Ini semacam kegiatan napak tilas perjuangan pejuang-pejuang Banyumas dengan cara melakukan perjalanan mereka melalui sebuah rute.
Waktu itu kita memilih rute perjuangan Gatot Subroto. Untuk mendukung data yang valid dari rute perjuangan atau rute gerilya sang Pahlawan, kami harus melacaknya pada beberapa tokoh pejuang yang masih hidup. Aku ke Banjarnegara, ke Gedung Joeang 45 yang ternyata sudah rata dengan tanah karena baru sekitar seminggu terkena angin puyuh. Tapi di sini aku bertemu dengan ketuanya, namanya pak Sugeng. Dari sini, kami melanjutkan pencarian data ke Semarang, yakni ke sekretariat gedung juang 45 di Semarang. Setelah itu, kami juga ke Jakarta untuk menelusuri arsip di gedung Juang 45 Jakarta sekaligus meminta doa restu dari para pahlawan yang saat ini masih hidup.
Well, semua berjalan dengan lancar. Tak ada halangan berarti selain rasa capek dan waktu kuliah yang tersita banyak untuk urusan ini. Tapi kami seneng. Paling tidak kami berharap bisa memberikan sesuatu yang berarti pada negara bila acara ini berhasil kelak. He…he…he…, patriotik banget kelihatannya. Tapi bener, saat itu yang kupikirin cuma itu. “Kalo acara ini bisa sukses, mungkin aku bisa menyenangkan arwah para pahlawan yang saat ini sudah berada di alam lain sekaligus bisa memberikan sebuah ingatan pada generasi sekarang akan susahnya perasaan para pahlawan saat mereka berjuang, berkejaran dengan penjajah Belanda dan Jepang.”
Setelah semua data terkumpul, kami mulai melakukan survey awal. Kebetulan waktu itu aku menjadi tim survei untuk kegiatan sosial yang akan diadakan di sela-sela acara. Nah keanehan terjadi waktu aku dalam perjalanan dari desa Rejasa ke Bobotsari. Berboncengan dengan Tuti Gendut, anak Capra Pala, aku menyusuri jalan selebar 3 meter yang membentang di jalur itu. Di tengah perasaan capek dan lelah, emosiku memang agak naik saat itu. Ketika ada seorang pemuda dengan sepeda motor bersuara cempreng, aku mengutukinya supaya sepeda motornya mati saat itu juga. Dan anda tahu apa yang terjadi. Sekitar seratus meter kemudian, aku melihat pemuda dengan motor bersuara compreng itu sedang jongkok memeriksa bagian mesin motornya. “Rasain!” batinku.
Perjalanan berlanjut. Saat melintasi jalan yang naik turun, lagi-lagi ada sebuah sepeda motor yang menyalipku. Kali ini modelnya trail dengan suara yang lebih memekakkan telinga. Emosi disalip dengan tidak sopan, aku mengejar sepeda motor itu. RXZ putih yang kupinjam dari Senthe langsung menyalipnya. Tapi rupanya laki-laki yang mengendarainya tidak terima seperti halnya aku. Dia kembali menyalip sambil menggeber-geberkan gasnya. Akibatnya suaranya langsung mengisi penuh telingaku. Aku melambatkan laju motorku sambil memendam rasa dongkolku.
“Lihat saja. Di tanjakan berikutnya motor itu pasti njungkel,” kataku pada Tuti yang berada di belakangku. Aku kemudian melanjutkan memacu motor dengan kecepatan sedang. Dan sekitar tiga menit kemudian aku melihat sebuah motor terkapar di tanjakan dengan pengendaranya berlumuran darah karena terguling.
“Eh, Bi. Dua kali omonganmi sangat mandi (manjur-red). Lebih baik kamu berhati-hati kalau bicara,’ ujar Tuti mewanti.
“Biarin aja Ndut, mereka sendiri yang memulai. Anggap saja itu pelajaran yang harus mereka petik karena telah membuat saya sakit hati,” kataku masih emosi.
“Tapi kamu tetap harus berhati-hati Bi. Iya kalo omonganmu hanya sebatas supata yang tak terlalu berresiku. Nah kalo kamu nyupatani orang dan orang itu mati, itu kan jadi dosamu,” katanya lagi.
Deg! Mendadak aku seperti diingatkan oleh peristiwa perbincanganku dengan kakakku beberapa tahun sebelumnya. Tapi aku hanya menghela napas. Selanjutnya aku kembali melajukan motor RXZ pinjaman itu dengan kecepatan sedang.
Di sebuah turunan, aku melihat sebuah angkutan pedesaan yang dipenuhi penumpang. Bahkan atapnya juga dipenuhi anak-anak yang masih berseragam sekolah. Beberapa diantara mereka juga bergelantungan pada bagasi yang ada di atas atap dengan menjejakkan kaki pada bumpernya.
“Akan sangat berbahaya kalau koperades itu jatuh terbalik. Pasti banyak yang akan terluka,” batinku.
Tapi kemudian aku segera sadar dan tak melanjutkan ketakutanku. Aku juga tak berani berbalik mengikuti koperades itu untuk membuktikan apakah perkataanku berubah menjadi kenyataan. Aku langsung memacu sepeda motorku dengan cepat tanpa berkata-kata lagi. Selain itu, dengan sangat menyesal, aku juga berkali-kali menarik ucapanku tersebut. (bersambung)

Tuesday, January 02, 2007

Nomor Mysterius

Bagian Pertama
Penghujung tahun kemarin aku bener-bener mengalami hal yang aneh. Ini seperti sebuah dejafu. You know, sebuah kejadian yang seakan-akan sudah terjadi pada kita, tapi entah dimana dan kapan.
Beberapa bulan lalu, aku sedang mengarang sebuah novel yang sampe sekarang belum selesai. Dalam novel itu, aku membuat cerita tentang seorang laki-laki yang tiba-tiba mendapat SMS aneh dari seseorang, kemungkinan seorang wanita. Dia ingin bertemu. Atau lebih tepatnya harus bertemu dengan laki-laki itu karena harus menyelesaikan sebuah persoalan yang sangat besar. Yang menentukan masa depannya dan dunia. Menganggap bahwa SMS itu adalah SMS iseng, si lelaki tak menanggapinya. Bahkan ketika kemudian nomor misterius itu terus mengiriminya SMS, lelaki itu akhirnya naik pitam dan mengeluarkan kata-kata kasar. Hal yang sebelumnya tak pernah dilakukannya terhadap orang yang belum dikenalnya.
Mimpiku memang tidak sampai tahap itu. Artinya aku memang tidak dikirim SMS misterius seperti tokoh dalam novelku, tapi persamaanya adalah pada hadirnya sebuah nomor yang sangat misterius. Nomor itu terus muncul dalam tiga kali mimpiku. Anehnya, aku memimpikannya di siang hari. Orang bilang kalo mimpi di siang hari, biasanya bukan mimpi biasa (meskipun aku selalu bermimpi kalau tidur siang hari, karena waktu tidurku memang siang hari). Tapi yang aneh adalah mimpi ini muncul sampe tiga kali.
Dan yang lebih aneh lagi, sekarang aku tak pernah bisa tidur lelap sejak mendapat tiga mimpi itu. Sebentar-sebentar terbangun oleh sesuatu yang aku sendiri tak mengetahuinya. Kadang seperti ada sesuatu yang menggigitku. Semacam hewan kecil berwarna hitam dengan taring yang mencuat juga berwarna hitam. Semut? Mungkin saja iya. Tapi aku seperti bisa melihatnya dengan sangat detil. Taring melengkung berwarna hitam yang keluar dari mulutnya, matanya yang merah, mungkin karena rasa marah, dan delapan kakinya yang merayap perlahan tapi sangat mantap. Aku juga melihat sekelilingku kehilangan warna. Aku seperti berada di dunia yang kosong dengan warna gelap yang menyelubunginya. Saat binatang kecil itu menggigit kakiku, aku tak bisa lari menghindar. Dan sesaat itu juga aku terbangun dengan nafas memburu. Keringat membentuk butiran-butiran sebesar biji jagung. Celakanya, saat itu tak ada orang di rumahku. Semuanya pergi. Aku seperti tetap terjerembab di ruang kosong yang gelap meski telah bangun dari tidurku.
Aku bangkit dari peraduanku. Sebuah kasur yang tebalnya tinggal sekitar 5 senti. Perkakas khas anak kos yang langsung bisa menggambarkan betapa tidak enaknya kehidupan. Keras, sekeras kapuk yang hampir rata dengan lantai tegel itu. Kadang ada bunyi ‘thuk’, begitu tulang tempurungku beradu dengan kasur itu. Aku memandang seisi kamarku, yang seperti biasanya, kondisinya seperti kapal titanic yang baru dihempas badai. Baju-baju yang baru dilaundry berserakan di dekat lemari, bercapur dengan celana panjang kotor yang sudah hampir sebulan kukenakan.
Mataku menerawang. Sebuah suasana stasiun tiba-tiba seperti terpampang dihadapanku, seoalah sebuah layar raksasa dibentangkan. Aku tiba-tiba seperti tersedot masuk dalam layar itu, hingga membuatku seperti di dalamnya. Di sebuah stastiun. Ya. Ini memang stasiun. Stasiun Purwokerto. Aku ingat benar dengan pntu peron dari batangan besi yang dilumuri chrom dengan seorang penjaga berkumis di sisinya. Dia akan selalu mencegat setiap orang yang melewatinya dan meminta uang Rp 1.500 untuk ditukarnya dengan secarik kertas kecil. Aku yakin semua orang juga tak akan sepakat dengan pertukaran ini. Tak seimbang dan cenderung tak berguna, karena kau tidak akan mendapat apapun di dalam stasiun ini kecuali orang-orang yang menanti kerabatnya datang atau wajah-wajah lelah yang baru turun dari ular besi.
Aku melangkah ke arah loket, menanyakan tiket Argo Lawu dan Taksaka untuk tanggal 2 Januari. Tapi ternyata semuanya sudah habis. Heran, kenapa sih semua orang harus bersepakat untuk pulang pada tanggal itu. Padahal kan mereka harus sudah sampai pada tanggal itu karena sudah mulai masuk kerja. Aku akhirnya berjalan menuju kafe di samping ruang tunggu eksekutif. Donnut bertabur messes coklat kupilih untuk menemani secangkir kopi susu. Aku tidak sempat mengingat jam berapa waktu itu. Tapi kelihatannya bukan dini hari, seperti biasanya aku sengaja nongkrong di tempat ini usai pulang dari kantorku.
Tiba-tiba seorang lelaki mendekatiku.
“Permisi de’, boleh saya duduk di sini?” tanyanya sopan. Sejenak aku memandang sekeliling, untuk kemudian melirik wajahnya.
“Kafe ini tidak sedang penuh orang, tapi kenapa dia tidak memilih tempat lain? Apa dia memang perlu sesuatu denganku? Atau dia bermaksud jahat?” batinku. Tapi demi sopan santun, aku mempersilahkannya duduk. Ya. Duduk semeja denganku, yang otomatis membuatku merasa kikuk.
“Ade’ mencari tiket untuk tanggal 2 ya. Ini, kebetulan saya punya. Ade’ bisa memakainya,” katanya setelah duduk. Aku langsung berpikir kalao lelaki ini adalah porter yang biasa menjadi calo langgananku kalau kepepet. Tapi demi melihat bajunya, pikiran itu langsung menghilang dari kepalaku. Bajunya terlalu bersih dan rapi untuk ukuran porter atau calo yang merupakan pegawai KAI resmi sekalipun.
“Ehm..Maaf. Bagaimana anda tahu kalau saya sedang butuh tiket untuk tanggal 2?” tanyaku menyelidik.
“Saya melihat kebingungan di wajah anda. Tenang. Ini wajar terjadi pada orang yang belum saling kenal. Tapi jangan kuatir, kebetulan saya tadi melihat anda ke loket dan keluar dengan wajah kecewa. Saya tahu, karcis yang habis hanya untuk tanggal dua. Jadi saya pikir anda pasti mencari untuk tanggal itu. Apakah penjelasan saya cukup masuk akal,” ujarnya sambil balik bertanya.
Aku kembali memandang wajah laki-laki itu. Sorot matanya memang tak menunjukkan niat jahat. Iris matanya terlihat melebar, menandakan tak ada dusta yang disembunyikannya. Meski begitu, aku masih merasa aneh dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Karena itu, aku kembali hanya bisa menatapnya.
“OK, mari saya jelaskan lebih detil. Tadinya saya memang mau berangkat ke Jakarta tanggal itu. Tapi ada sesuatu hal yang membuat saya batal melakukannya. Aku pikir daripada tiket ini sia-sia, lebih baik aku kasih ke seseorang yang membutuhkannya,” ujarnya kemudian.
“Ehm..sebenarnya saya masih agak aneh dengan hal ini. Tapi, berapa anda minta untuk tiket itu,” jawabku terus terang.
“He…he…he….Saya suka keterus terangan anda. Tapi anda tak harus membayar untuk ini semua,” katanya kemudian. Ini tentu saja membuat aku kembali menaruh curiga pada laki-laki itu.
“Maaf? Apakah Anda baru saja bilang kalau aku tak perlu membayar?” tanyaku memperjelas.
“Ya. Itu yang saya ucapkan,” sambut laki-laki itu.
“Bukankah orang selalu mengharapkan imbalan atas apa yang dilakukannya? Apalagi untuk sebuah hal yang tak banyak orang yang bisa mendapatkannya. Dan anda akan memberikannya gratis pada saya. Dengan semua ini, Apakah salah kalau saya mencurigai anda?
“Saya yakin itu adalah hak anda. Jadi saya tidak akan menyalahkan kalau anda curiga. Tapi percayalah, saya memang harus memberikannya kepada anda. Ini resmi. Silahkan dicek saja,” katanya kemudian.
Aku mengamati tiket itu. Ya. Sebuah tiket kereta Sawunggalih Utama bernomor 5A. Ada nama BUDI di tiket itu. Tanda hologram juga tercetak jelas di tiket berwarna biru muda kombinasi putih itu.
“Itu asli. Dan nama itu bukan nama saya. Saya sendiri mendapatkannya dari calo,” kata lelaki itu seolah menjawab pertanyaan di hatiku.
“Tapi saya masih heran kenapa anda memberikan tiket ini untuk saya,” kataku kemudian.
“Percayalah anak muda. Ini akan berguna. Saya tahu kamu sangat membutuhkannya. Meski itu bukan untuk kamu sendiri,’ ujarnya lembut.
Aku kembali terperanjat mendengar kalimat terakhirnya. Tapi seperti sebelumnya, kali ini laki-laki itu kembali tersenyum.
“Sudahlah. Untuk yang satu ini aku yakin kamu juga tidak ingin aku mengatakannya bukan?” katanya masih sambil tersenyum.
“Tak akan ada apa-apa, saya jamin. Saya hanya ingin menolong anda anak muda. Kecuali kau memang lebih suka temanmu kecewa,” katanya penuh arti. “OK. Saya terima tiket ini. Tapi mohon sebutkan sebuah angka pada saya untuk menggantinya. Saya merasa tidak enak menerima sesuatu tanpa memberikan imbalan. Bukankah tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini. Semuanya mesti diganti dengan sesuatu, misalnya uang,” kataku kemudian.
“Ada anak muda. Ada hal-hal yang bisa kau dapat tanpa haru berusaha keras. Itu yang dinamakan dengan keberuntungan, atau bahkan mungkin keajaiban. Siapa tahu, ini adalah salah satunya,” kata lelaki itu. Hampir seperti gumaman. Tapi cukup jelas bagiku.
“Sebenarnya saya tidak percaya dengan keberuntungan. Tuhan sudah menciptakan segala sesuatunya dengan hukum sebab-akibat. Jadi saya pikir tidak akan ada keberuntungan di dalamnya. Kita akan mendapat apa yang kita usahakan,” jawabku.
“Dalam beberapa hal kamu benar anak muda. Tapi dengan rasa syukur, apa yang kita usahakan kadang akan memberikanhasil yang tak kita perkirakan. Sebaliknya kalau kita tak mensyukurinya, seberat apapun usaha yang kita lakukan, kadang tak ada hasil yang akan kita dapat,” uajrnya lugas. Kata-katanay mengingatkanku pada bunyi sebuah ayat Al-Quran.
“Begini saja. Kita tak mungkin mengharapkan uang dari pengemis yang kita beri sedekah kan. Demikian juga anggap saja demikian. Saya sedang tidak menganggap kamu sebagai pengemis. Tapi saya yakin, yang diatas sana akan membalas kalau ini bisa dikatakan sebuah kebaikan. Jadi, jangan terlalu risau dengan semua ini. Tuhan tidak tidur. Dia tahu apapun yang terjadi di semua penjuru dunia,” katanya panjang lebar. Aku hanay terbengong.
“OK, saya harus pergi. Oya, di HP anda ada nomor telpon yang bisa anda hubungi. Hubungilah kalau senggang. Selamat tinggal,” ujarnya.
“OK. Terima kasih,” hanya itu yang bisa kukatakan. Aku kembali menatap karcis di depanku. Tak menyadari kalau laki-laki itu sudah pergi.
Tiba-tiba aku ingat kata-kata terakhirnya. Saat itu juga aku mengambil Hpku. Hei, ada nomor yang sepertinya baru saja diketikkan di layar Hpku. Terlihat siap untuk disimpan dengan sebuah nama. 088826674000. Sejenak aku ragu. Aku tidak menyentuh Hpku selama pecakapan aneh tadi. Dan itu juga bukan hasil Miss Call seseorang.
Aku kembali merasa tersedot keluar. Aku kembali berada di kamarku. Serakan baju-baju yang habis dilaundry kembali tampak di depanku. Aku bangkit dengan gontai. Melangkah ke depan TV. Menyalakannya sejenak dan menonton film kartun. Tapi tak lama kemudian aku kembali terlelap. Dan anehnya, mimpi itu kembali muncul. Suasana stasiun yang berisik dan pertemuan dengan lelaki misterius itu.
Lagi-lagi Aku bangun dan menatap sekelilingku. Aku benar-benar bingung saat itu. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Setelah mematikan TV, aku berjalan ke kamar BJ yang sekarang dihuni oleh Heni. Di sini, aku kembai merebahkan tubuhku. Dan anehnya, mimpi itu kembali muncul. Bahkan setelah mimpi terakhi ini, aku langsung ingat nomor yang diberikan lelaki misterius itu ke Hpku. Memastikan kecurigaanku, aku segera mengambil Hpku. Dan anda pasti tidak akan percaya. Nomor itu tercetak di layar LCD Hpku. Aku semakin bingung. Tapi kemudian memutuskan untuk menyimpan nomor itu dengan label Nomor Mimpi. (bersambung)