karena7adalahmysteri

There's so many things counted in seven. The Skys, The Seas, The Days, and so do I. Seven is the biggest mysteri I've ever found

Tuesday, January 02, 2007

Nomor Mysterius

Bagian Pertama
Penghujung tahun kemarin aku bener-bener mengalami hal yang aneh. Ini seperti sebuah dejafu. You know, sebuah kejadian yang seakan-akan sudah terjadi pada kita, tapi entah dimana dan kapan.
Beberapa bulan lalu, aku sedang mengarang sebuah novel yang sampe sekarang belum selesai. Dalam novel itu, aku membuat cerita tentang seorang laki-laki yang tiba-tiba mendapat SMS aneh dari seseorang, kemungkinan seorang wanita. Dia ingin bertemu. Atau lebih tepatnya harus bertemu dengan laki-laki itu karena harus menyelesaikan sebuah persoalan yang sangat besar. Yang menentukan masa depannya dan dunia. Menganggap bahwa SMS itu adalah SMS iseng, si lelaki tak menanggapinya. Bahkan ketika kemudian nomor misterius itu terus mengiriminya SMS, lelaki itu akhirnya naik pitam dan mengeluarkan kata-kata kasar. Hal yang sebelumnya tak pernah dilakukannya terhadap orang yang belum dikenalnya.
Mimpiku memang tidak sampai tahap itu. Artinya aku memang tidak dikirim SMS misterius seperti tokoh dalam novelku, tapi persamaanya adalah pada hadirnya sebuah nomor yang sangat misterius. Nomor itu terus muncul dalam tiga kali mimpiku. Anehnya, aku memimpikannya di siang hari. Orang bilang kalo mimpi di siang hari, biasanya bukan mimpi biasa (meskipun aku selalu bermimpi kalau tidur siang hari, karena waktu tidurku memang siang hari). Tapi yang aneh adalah mimpi ini muncul sampe tiga kali.
Dan yang lebih aneh lagi, sekarang aku tak pernah bisa tidur lelap sejak mendapat tiga mimpi itu. Sebentar-sebentar terbangun oleh sesuatu yang aku sendiri tak mengetahuinya. Kadang seperti ada sesuatu yang menggigitku. Semacam hewan kecil berwarna hitam dengan taring yang mencuat juga berwarna hitam. Semut? Mungkin saja iya. Tapi aku seperti bisa melihatnya dengan sangat detil. Taring melengkung berwarna hitam yang keluar dari mulutnya, matanya yang merah, mungkin karena rasa marah, dan delapan kakinya yang merayap perlahan tapi sangat mantap. Aku juga melihat sekelilingku kehilangan warna. Aku seperti berada di dunia yang kosong dengan warna gelap yang menyelubunginya. Saat binatang kecil itu menggigit kakiku, aku tak bisa lari menghindar. Dan sesaat itu juga aku terbangun dengan nafas memburu. Keringat membentuk butiran-butiran sebesar biji jagung. Celakanya, saat itu tak ada orang di rumahku. Semuanya pergi. Aku seperti tetap terjerembab di ruang kosong yang gelap meski telah bangun dari tidurku.
Aku bangkit dari peraduanku. Sebuah kasur yang tebalnya tinggal sekitar 5 senti. Perkakas khas anak kos yang langsung bisa menggambarkan betapa tidak enaknya kehidupan. Keras, sekeras kapuk yang hampir rata dengan lantai tegel itu. Kadang ada bunyi ‘thuk’, begitu tulang tempurungku beradu dengan kasur itu. Aku memandang seisi kamarku, yang seperti biasanya, kondisinya seperti kapal titanic yang baru dihempas badai. Baju-baju yang baru dilaundry berserakan di dekat lemari, bercapur dengan celana panjang kotor yang sudah hampir sebulan kukenakan.
Mataku menerawang. Sebuah suasana stasiun tiba-tiba seperti terpampang dihadapanku, seoalah sebuah layar raksasa dibentangkan. Aku tiba-tiba seperti tersedot masuk dalam layar itu, hingga membuatku seperti di dalamnya. Di sebuah stastiun. Ya. Ini memang stasiun. Stasiun Purwokerto. Aku ingat benar dengan pntu peron dari batangan besi yang dilumuri chrom dengan seorang penjaga berkumis di sisinya. Dia akan selalu mencegat setiap orang yang melewatinya dan meminta uang Rp 1.500 untuk ditukarnya dengan secarik kertas kecil. Aku yakin semua orang juga tak akan sepakat dengan pertukaran ini. Tak seimbang dan cenderung tak berguna, karena kau tidak akan mendapat apapun di dalam stasiun ini kecuali orang-orang yang menanti kerabatnya datang atau wajah-wajah lelah yang baru turun dari ular besi.
Aku melangkah ke arah loket, menanyakan tiket Argo Lawu dan Taksaka untuk tanggal 2 Januari. Tapi ternyata semuanya sudah habis. Heran, kenapa sih semua orang harus bersepakat untuk pulang pada tanggal itu. Padahal kan mereka harus sudah sampai pada tanggal itu karena sudah mulai masuk kerja. Aku akhirnya berjalan menuju kafe di samping ruang tunggu eksekutif. Donnut bertabur messes coklat kupilih untuk menemani secangkir kopi susu. Aku tidak sempat mengingat jam berapa waktu itu. Tapi kelihatannya bukan dini hari, seperti biasanya aku sengaja nongkrong di tempat ini usai pulang dari kantorku.
Tiba-tiba seorang lelaki mendekatiku.
“Permisi de’, boleh saya duduk di sini?” tanyanya sopan. Sejenak aku memandang sekeliling, untuk kemudian melirik wajahnya.
“Kafe ini tidak sedang penuh orang, tapi kenapa dia tidak memilih tempat lain? Apa dia memang perlu sesuatu denganku? Atau dia bermaksud jahat?” batinku. Tapi demi sopan santun, aku mempersilahkannya duduk. Ya. Duduk semeja denganku, yang otomatis membuatku merasa kikuk.
“Ade’ mencari tiket untuk tanggal 2 ya. Ini, kebetulan saya punya. Ade’ bisa memakainya,” katanya setelah duduk. Aku langsung berpikir kalao lelaki ini adalah porter yang biasa menjadi calo langgananku kalau kepepet. Tapi demi melihat bajunya, pikiran itu langsung menghilang dari kepalaku. Bajunya terlalu bersih dan rapi untuk ukuran porter atau calo yang merupakan pegawai KAI resmi sekalipun.
“Ehm..Maaf. Bagaimana anda tahu kalau saya sedang butuh tiket untuk tanggal 2?” tanyaku menyelidik.
“Saya melihat kebingungan di wajah anda. Tenang. Ini wajar terjadi pada orang yang belum saling kenal. Tapi jangan kuatir, kebetulan saya tadi melihat anda ke loket dan keluar dengan wajah kecewa. Saya tahu, karcis yang habis hanya untuk tanggal dua. Jadi saya pikir anda pasti mencari untuk tanggal itu. Apakah penjelasan saya cukup masuk akal,” ujarnya sambil balik bertanya.
Aku kembali memandang wajah laki-laki itu. Sorot matanya memang tak menunjukkan niat jahat. Iris matanya terlihat melebar, menandakan tak ada dusta yang disembunyikannya. Meski begitu, aku masih merasa aneh dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Karena itu, aku kembali hanya bisa menatapnya.
“OK, mari saya jelaskan lebih detil. Tadinya saya memang mau berangkat ke Jakarta tanggal itu. Tapi ada sesuatu hal yang membuat saya batal melakukannya. Aku pikir daripada tiket ini sia-sia, lebih baik aku kasih ke seseorang yang membutuhkannya,” ujarnya kemudian.
“Ehm..sebenarnya saya masih agak aneh dengan hal ini. Tapi, berapa anda minta untuk tiket itu,” jawabku terus terang.
“He…he…he….Saya suka keterus terangan anda. Tapi anda tak harus membayar untuk ini semua,” katanya kemudian. Ini tentu saja membuat aku kembali menaruh curiga pada laki-laki itu.
“Maaf? Apakah Anda baru saja bilang kalau aku tak perlu membayar?” tanyaku memperjelas.
“Ya. Itu yang saya ucapkan,” sambut laki-laki itu.
“Bukankah orang selalu mengharapkan imbalan atas apa yang dilakukannya? Apalagi untuk sebuah hal yang tak banyak orang yang bisa mendapatkannya. Dan anda akan memberikannya gratis pada saya. Dengan semua ini, Apakah salah kalau saya mencurigai anda?
“Saya yakin itu adalah hak anda. Jadi saya tidak akan menyalahkan kalau anda curiga. Tapi percayalah, saya memang harus memberikannya kepada anda. Ini resmi. Silahkan dicek saja,” katanya kemudian.
Aku mengamati tiket itu. Ya. Sebuah tiket kereta Sawunggalih Utama bernomor 5A. Ada nama BUDI di tiket itu. Tanda hologram juga tercetak jelas di tiket berwarna biru muda kombinasi putih itu.
“Itu asli. Dan nama itu bukan nama saya. Saya sendiri mendapatkannya dari calo,” kata lelaki itu seolah menjawab pertanyaan di hatiku.
“Tapi saya masih heran kenapa anda memberikan tiket ini untuk saya,” kataku kemudian.
“Percayalah anak muda. Ini akan berguna. Saya tahu kamu sangat membutuhkannya. Meski itu bukan untuk kamu sendiri,’ ujarnya lembut.
Aku kembali terperanjat mendengar kalimat terakhirnya. Tapi seperti sebelumnya, kali ini laki-laki itu kembali tersenyum.
“Sudahlah. Untuk yang satu ini aku yakin kamu juga tidak ingin aku mengatakannya bukan?” katanya masih sambil tersenyum.
“Tak akan ada apa-apa, saya jamin. Saya hanya ingin menolong anda anak muda. Kecuali kau memang lebih suka temanmu kecewa,” katanya penuh arti. “OK. Saya terima tiket ini. Tapi mohon sebutkan sebuah angka pada saya untuk menggantinya. Saya merasa tidak enak menerima sesuatu tanpa memberikan imbalan. Bukankah tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini. Semuanya mesti diganti dengan sesuatu, misalnya uang,” kataku kemudian.
“Ada anak muda. Ada hal-hal yang bisa kau dapat tanpa haru berusaha keras. Itu yang dinamakan dengan keberuntungan, atau bahkan mungkin keajaiban. Siapa tahu, ini adalah salah satunya,” kata lelaki itu. Hampir seperti gumaman. Tapi cukup jelas bagiku.
“Sebenarnya saya tidak percaya dengan keberuntungan. Tuhan sudah menciptakan segala sesuatunya dengan hukum sebab-akibat. Jadi saya pikir tidak akan ada keberuntungan di dalamnya. Kita akan mendapat apa yang kita usahakan,” jawabku.
“Dalam beberapa hal kamu benar anak muda. Tapi dengan rasa syukur, apa yang kita usahakan kadang akan memberikanhasil yang tak kita perkirakan. Sebaliknya kalau kita tak mensyukurinya, seberat apapun usaha yang kita lakukan, kadang tak ada hasil yang akan kita dapat,” uajrnya lugas. Kata-katanay mengingatkanku pada bunyi sebuah ayat Al-Quran.
“Begini saja. Kita tak mungkin mengharapkan uang dari pengemis yang kita beri sedekah kan. Demikian juga anggap saja demikian. Saya sedang tidak menganggap kamu sebagai pengemis. Tapi saya yakin, yang diatas sana akan membalas kalau ini bisa dikatakan sebuah kebaikan. Jadi, jangan terlalu risau dengan semua ini. Tuhan tidak tidur. Dia tahu apapun yang terjadi di semua penjuru dunia,” katanya panjang lebar. Aku hanay terbengong.
“OK, saya harus pergi. Oya, di HP anda ada nomor telpon yang bisa anda hubungi. Hubungilah kalau senggang. Selamat tinggal,” ujarnya.
“OK. Terima kasih,” hanya itu yang bisa kukatakan. Aku kembali menatap karcis di depanku. Tak menyadari kalau laki-laki itu sudah pergi.
Tiba-tiba aku ingat kata-kata terakhirnya. Saat itu juga aku mengambil Hpku. Hei, ada nomor yang sepertinya baru saja diketikkan di layar Hpku. Terlihat siap untuk disimpan dengan sebuah nama. 088826674000. Sejenak aku ragu. Aku tidak menyentuh Hpku selama pecakapan aneh tadi. Dan itu juga bukan hasil Miss Call seseorang.
Aku kembali merasa tersedot keluar. Aku kembali berada di kamarku. Serakan baju-baju yang habis dilaundry kembali tampak di depanku. Aku bangkit dengan gontai. Melangkah ke depan TV. Menyalakannya sejenak dan menonton film kartun. Tapi tak lama kemudian aku kembali terlelap. Dan anehnya, mimpi itu kembali muncul. Suasana stasiun yang berisik dan pertemuan dengan lelaki misterius itu.
Lagi-lagi Aku bangun dan menatap sekelilingku. Aku benar-benar bingung saat itu. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Setelah mematikan TV, aku berjalan ke kamar BJ yang sekarang dihuni oleh Heni. Di sini, aku kembai merebahkan tubuhku. Dan anehnya, mimpi itu kembali muncul. Bahkan setelah mimpi terakhi ini, aku langsung ingat nomor yang diberikan lelaki misterius itu ke Hpku. Memastikan kecurigaanku, aku segera mengambil Hpku. Dan anda pasti tidak akan percaya. Nomor itu tercetak di layar LCD Hpku. Aku semakin bingung. Tapi kemudian memutuskan untuk menyimpan nomor itu dengan label Nomor Mimpi. (bersambung)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home