karena7adalahmysteri

There's so many things counted in seven. The Skys, The Seas, The Days, and so do I. Seven is the biggest mysteri I've ever found

Wednesday, December 06, 2006

How Great of You God!!





Aku selalu suka kembali ke alam. Menikmati suara burung, desau angin yang menggesek pucuk-pucuk pepohonan, menghirup bau damar dan pinus atau menceburkan kaki ke dinginnya air sungai yang jernih. sungguh saat yang sangat istimewa. Tak ada suara knalpot, tak ada suara klakson, tak ada bahan pengawet dan plastik. Yang ada hanya apa yang diciptakan Tuhan untuk kita. tak ada campur tangan manusia. semua murni. hanya kita dan Tuhan, melalui ciptaanya.

Minggu-Senin (3-4/12) kemarin aku nekat mengambil liburan. Ada tawaran menarik dari pengelola kawasan wisata curug Cipendok untuk ikut ekspedisi penjelajahan asal-usul tempat itu. "Wah, it must be great!" pikirku. Lalu tanpa banyak pertimbangan, aku langsung mengiyakan untuk ikutan.
Sepanjang perjalanan aku begitu menikmati kebesaran yang diberikan Tuhan. Tegalan yang ditanami lombok dan aneka sayuran menghampar di kanan kiri jalan setapak yang aku lalui. Bau pupuk kandang bercampur dengan aroma pinus yang tertiup dari perbukitan di belakangnya. Bukti nyata bahwa Tuhan mengasihi makhluknya dengan menumbuhkan tanaman yang dikehendaki makhluknya. Gemericik air di parit kecil mengalir deras membawa kehidupan bagi petani-petani yang tinggal di pedesan.
Mendaki perbukitan, suara kicau burung mengiringi langkah berat kaki-kaki kami yang kurus dan kendur karena jarang digunakan. Suara nafas kami menderu, seolah berlomba-lomba keluar dari kerngkongan dan paru-paru kami.
Meski secara umum bangga dengan kondisi kealamian daerah yang kulewati, tetap saja ada rasa miris yang keluar dari hati. Ini terutam saat melihat jalur yang kami lewati yang sudah sangat jelas. Tanda bahwa jalur itu sangat sering dilalui orang. Perbukitan yang seharusnya berselimut pohon-pohon besar nan rimbun berganti dengan palawija dan padi gaga. Campur tangan manusia sudah merambah sampai jauh, merampok lahan hidup bagi babi hutan, kera dan harimau. Tak heran st musim kemarau datang, mereka nekat turun ke desa, berebut makanan dengan manusia.
Satu hal yang selalu aku senangi saat mendaki gunung adalah emosi. Aku selalu mendapatkan apa yang disebut sebagai persahabatan, ketulusan, ego, saling membutuhkan dan tolong menolong. Ibaratnya, we can't live without someone else. Kita mesti bersama. Untuk menghilangkan ketakutan, udara dingin yang kadang membekap tubuh, melawan kegelapan dan membangun tempat perlindungan. Sebuah miniatur hidup sesungguhnya, yang tak dapat lagi didapati di kota.
Tak ada rasa canggung saat kita di hutan. Semua orang menjadi dirinya sendiri. Tak ada rasa jaim dan menutupi diri dan sifat asli. Yang ada hanyalah kepolosan seorang pribadi. Tak ada kepura-puraan. Kecuali kau ingin mati dalam kesendirian.


Mendaki gunung dan menyusuri lebatnya hutan lindung juga memberikan gambaran hidup yang sesungguhnya. Kita mesti mendaki selangkah demi selangkah, hanya demi sebuah kesuksesan. Meski kesuksesan itu kadang tak bisa dinikmati atau bahkan dimengerti oleh orang lain. Kita mesti membawa bekal agar bisa menikmati kesuksesan, baik itu bekal fisik berupa makanan maupun bekal non fisik berupa keyakinan, semangat pantang menyerah dan kesetiaan. Kita juga mesti memandang ke depan agar tahu tujuan kita. Sesekali memandang jauh ke depan agar tak hilang arah. Namun selalu menunduk sebagai pertanda ketekunan sekaligus agar tak menjadi sombong dan tersandung akar yang mungkin menghalangi.
Pun saat turun, kita mesti berjuang untuk bertahan. Gegabah dan tinggi hati akan membuat kita tergelincir. Turun tanpa aturan dan jatuh di kedalaman jurang. Terpuruk dengan luka mendera seluruh tubuh.
Banyak sekali pelajaran hidup yang bisa kita dapat. Inilah yang kadang tak bisa dikatakan para pecinta alam saat melakoni hobynya. Aku belajar tentang hidup dan tujuan hidup yang sebenarnya saat melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak. Aku mensyukuri nikmat Tuhan saat menikmati sinar mentari pertama di puncak gunung. Aku belajar untuk tidak menjadi sombong dan tinggi hati saat menuruni lereng gunung, dan aku belajar untuk tak jadi egois saaat berbagi makanan di tenda yang sempit.
That's why I like to take a trip to climb the hill. Because I love to enjoy the creation of God.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home