karena7adalahmysteri

There's so many things counted in seven. The Skys, The Seas, The Days, and so do I. Seven is the biggest mysteri I've ever found

Thursday, January 04, 2007

Nomor Mysterius

Bagian Kedua
Hari ini sudah tanggal 3 Januari 2007. Dan Aku belum bisa memutuskan untuk mengambil sebuah tindakan dengan mimpi aneh yang aku alami selain menceritakannya pada beberapa orang. Wahyu- pacarnya mas Asidi, Mba’Upik dan Mega serta Heni dan Ennie. Semuanya hanya mengira hal itu sebagai bunga tidur karena aku terlalu senang melihat film kartun dan fiksi. Meski begitu, Ennie punya ide agak gila dengan menyuruhku segera menelpon nomor itu. Dia menerka bahwa itu mungkin saja adalah nomor yang akan membawaku pada seorang wanita atau mungkin putri yang akan menjadi jodohku. Ato mbak Upik yang menganggap itu adalah nomor buntut yang super bener dan bisa bikin aku kaya raya. But I don’t think so. Aku tidak berpikir demikian.
Kalau ceritanya seperti itu, itu akan terlalu mudah ditebak endingnya. Aku yakin ini sesuatu yang lebih rumit. Ini bukan cerita ala pangeran kodok atau putri salju yang mendaptkan putri atau pangeran impiannya dengan jalan yang ajaib seperti itu. Aku yakin ini adalah misteri-misteri tak terjawab yang kadang memang muncul dalam kehidupanku.
Aku ingat. Suatu saat ada seorang laki-laki yang berkunjung ke rumah kakak pertamaku, rumah dimana dulu aku tinggal. Dia adalah guru spiritual kakak laki-lakiku dan kakak sepupuku di tangerang. Keanehan terjadi saat kami bertemu. Laki-laki iu menatapku beberapa saat lamanya saat aku masuk ke kamarku. Tapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Meski aku tersenyum, dia seperti tak melihatnya. Karena merasa tak respek dengan dia, akhirnya aku memilih mengurung diri di kamar sambil mendengarkan radio.
Dikemudian hari aku tahu nama laki-laki itu adalah Pak Yanto. Itu baru kuketahui saat kakakku memanggilku. Katanya ada hal penting yang mau dibicarakannya.
“Bi, kamu tahu laki-laki yang kemarin di sini,” kata kakakku memulai pembicaraan.
“Tidak. Dan aku rasa aku tak ingin melakukannya,” jawabku acuh.
“Melakukan apa? Tanya kakakku agak penasaran.
“Mengetahuinya. Itu tak ada untungnya bagiku,” kataku.
“Dia Pak Yanto. Dia guruku dan Mas Anto. Kami menyebutnya guru spiritual. Kami sering ke rumahnya untuk mengaji,” bebernya tanpa kuminta.
“So. Apa kaitannya denganku,” ujarku tak sabaran.
“Dia berpesan agar kau menjaga segala ucapan yang keluar dari mulutmu,” katak kakakku. Begitu mendengar kalimat terakhir ini, aku langsung mengangkat kepalaku dan menoleh ke arah kakakku. Aku memang tak mengacuhkannya saat berbicara.
“Apa haknya mengatur apa yang akan kukatakan. Dia sama sekali tak berhak,” jawabku agak kesal. Agaknya jawabanku sudah diperkirakan oleh kakakku. Terlihat dari sikapnya yang tetap tenang melihat sikapku yang mulai marah.
“Dia tidak mengaturmu. Dia hanya mengingatkanmu. Itu juga kalau kamu mau. Kalau tidak mau…
“Kalau tidak mau kenapa? Apa dia akan mengguna-gunaiku dengan mantra tenung?” potongku ketus.
“Aku tidak takut. Memangnya siapa dia. Aku sama sekali tak punya sangkut paut dengan dia. Kalaupun ada, ini hanya karena aku adikmu. Lain tidak. Jadi jangan coba mengatur-ngaturku,” semburku lagi.
“Kamu terlalu curiga. Aku belum lagi menyelesaikan ucapanku, dan kau sudah memotongnya. Aku hanya akan berkata, kamu bebas menentukan sikap dan tindakanmu. Pada saatnya nanti, kamu bertanggung jawab penuh dengan semua tindakan yangkau perbuat. Orang lain tidak bisa mencampurinya. Itu saja,” terang kakakku. Nafasnya kelihatan memburu menahan marah. Tapi dia hanya menghirup nafas panjang. Meredakan api yang ada di dalam dadanya.
Tanpa berkata apapun aku pergi meninggalkannya. Sejak itu, aku agak kurang suka kepadanya. Dan dengan sendirinya ini membuat hubungan kami jadi agak renggang.
Bulan berlalu dan tahun berganti. Aku akhirnya melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Nothing special with my life so far. Sampe pada suatu ketika (aku agak lupa kapan tepatnya, mungkin sekitar ahun 2000 atau 2001) aku ikut menjadi panitia kegiatan PSP (aku agak lupa kepanjangannya apa, mungkin Penghayatan Sejarah Perjuangan?). Ini semacam kegiatan napak tilas perjuangan pejuang-pejuang Banyumas dengan cara melakukan perjalanan mereka melalui sebuah rute.
Waktu itu kita memilih rute perjuangan Gatot Subroto. Untuk mendukung data yang valid dari rute perjuangan atau rute gerilya sang Pahlawan, kami harus melacaknya pada beberapa tokoh pejuang yang masih hidup. Aku ke Banjarnegara, ke Gedung Joeang 45 yang ternyata sudah rata dengan tanah karena baru sekitar seminggu terkena angin puyuh. Tapi di sini aku bertemu dengan ketuanya, namanya pak Sugeng. Dari sini, kami melanjutkan pencarian data ke Semarang, yakni ke sekretariat gedung juang 45 di Semarang. Setelah itu, kami juga ke Jakarta untuk menelusuri arsip di gedung Juang 45 Jakarta sekaligus meminta doa restu dari para pahlawan yang saat ini masih hidup.
Well, semua berjalan dengan lancar. Tak ada halangan berarti selain rasa capek dan waktu kuliah yang tersita banyak untuk urusan ini. Tapi kami seneng. Paling tidak kami berharap bisa memberikan sesuatu yang berarti pada negara bila acara ini berhasil kelak. He…he…he…, patriotik banget kelihatannya. Tapi bener, saat itu yang kupikirin cuma itu. “Kalo acara ini bisa sukses, mungkin aku bisa menyenangkan arwah para pahlawan yang saat ini sudah berada di alam lain sekaligus bisa memberikan sebuah ingatan pada generasi sekarang akan susahnya perasaan para pahlawan saat mereka berjuang, berkejaran dengan penjajah Belanda dan Jepang.”
Setelah semua data terkumpul, kami mulai melakukan survey awal. Kebetulan waktu itu aku menjadi tim survei untuk kegiatan sosial yang akan diadakan di sela-sela acara. Nah keanehan terjadi waktu aku dalam perjalanan dari desa Rejasa ke Bobotsari. Berboncengan dengan Tuti Gendut, anak Capra Pala, aku menyusuri jalan selebar 3 meter yang membentang di jalur itu. Di tengah perasaan capek dan lelah, emosiku memang agak naik saat itu. Ketika ada seorang pemuda dengan sepeda motor bersuara cempreng, aku mengutukinya supaya sepeda motornya mati saat itu juga. Dan anda tahu apa yang terjadi. Sekitar seratus meter kemudian, aku melihat pemuda dengan motor bersuara compreng itu sedang jongkok memeriksa bagian mesin motornya. “Rasain!” batinku.
Perjalanan berlanjut. Saat melintasi jalan yang naik turun, lagi-lagi ada sebuah sepeda motor yang menyalipku. Kali ini modelnya trail dengan suara yang lebih memekakkan telinga. Emosi disalip dengan tidak sopan, aku mengejar sepeda motor itu. RXZ putih yang kupinjam dari Senthe langsung menyalipnya. Tapi rupanya laki-laki yang mengendarainya tidak terima seperti halnya aku. Dia kembali menyalip sambil menggeber-geberkan gasnya. Akibatnya suaranya langsung mengisi penuh telingaku. Aku melambatkan laju motorku sambil memendam rasa dongkolku.
“Lihat saja. Di tanjakan berikutnya motor itu pasti njungkel,” kataku pada Tuti yang berada di belakangku. Aku kemudian melanjutkan memacu motor dengan kecepatan sedang. Dan sekitar tiga menit kemudian aku melihat sebuah motor terkapar di tanjakan dengan pengendaranya berlumuran darah karena terguling.
“Eh, Bi. Dua kali omonganmi sangat mandi (manjur-red). Lebih baik kamu berhati-hati kalau bicara,’ ujar Tuti mewanti.
“Biarin aja Ndut, mereka sendiri yang memulai. Anggap saja itu pelajaran yang harus mereka petik karena telah membuat saya sakit hati,” kataku masih emosi.
“Tapi kamu tetap harus berhati-hati Bi. Iya kalo omonganmu hanya sebatas supata yang tak terlalu berresiku. Nah kalo kamu nyupatani orang dan orang itu mati, itu kan jadi dosamu,” katanya lagi.
Deg! Mendadak aku seperti diingatkan oleh peristiwa perbincanganku dengan kakakku beberapa tahun sebelumnya. Tapi aku hanya menghela napas. Selanjutnya aku kembali melajukan motor RXZ pinjaman itu dengan kecepatan sedang.
Di sebuah turunan, aku melihat sebuah angkutan pedesaan yang dipenuhi penumpang. Bahkan atapnya juga dipenuhi anak-anak yang masih berseragam sekolah. Beberapa diantara mereka juga bergelantungan pada bagasi yang ada di atas atap dengan menjejakkan kaki pada bumpernya.
“Akan sangat berbahaya kalau koperades itu jatuh terbalik. Pasti banyak yang akan terluka,” batinku.
Tapi kemudian aku segera sadar dan tak melanjutkan ketakutanku. Aku juga tak berani berbalik mengikuti koperades itu untuk membuktikan apakah perkataanku berubah menjadi kenyataan. Aku langsung memacu sepeda motorku dengan cepat tanpa berkata-kata lagi. Selain itu, dengan sangat menyesal, aku juga berkali-kali menarik ucapanku tersebut. (bersambung)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home